Saya ingin cerita ttg teman saya waktu kuliah di ITB dulu. Namanya Raden Aditya Wibawa Sakti (ada di friendlist saya). Dia keturunan Jawa, tapi lahir dan besar di Bandung. Lulus dari SMA 3 Bandung, lalu kuliah di ITB, jurusan Kimia angkatan 2007.
Tahun 2010, saat saya mulai kuliah di ITB. Mas Adit (nama panggilannya) masih S1 semester 7, sementara saya S2.
Awal pertemuan kami, karena dia mengambil matakuliah Elusidasi Struktur. Matakuliah ini wajib bagi mahasiswa S2 dan S3, tapi boleh dijadikan pilihan bagi mahasiswa S1. Kebetulan dia mengambil kuliah ini sebagai mata kuliah pilihan. Maka, jadilah kami bertemu dalam satu kelas yang isinya S1, S2, dan S3. Tidak hanya dia, ada beberapa mahasiswa S1 yg lain.
Awal perkuliahan, tidak ada yang istimewa. Selain karena kelas kami masih jaim, dosen pun jarang bertanya. Jadi belum terlihat siapa yang pintar di kelas. Hingga menjelang UTS, kami dapat tugas dari dosen yang dikerjakan berkelompok 2 orang. Dan saya satu kelompok dengan mas Adit.
Tugasnya lumayan sulit, menentukan struktur berdasarkan spektra. Karena sulit, saya rencanakan di hari libur saja ngerjainnya. Tapi mas Adit tidak bisa, dia ingin dikerjakan saat itu juga. Kebetulan kami ada jeda kuliah. Sayapun mengalah, mulailah kami diskusi mengerjakan tugas.
Saat itulah, saya melihat kecerdasan yang luar biasa dari mas Adit. Seakan-akan rekaman buku ada di otaknya. Itulah awal mula kami akrab, dan diam-diam saya mengagumi kecedasan mas Adit.
Selesai UTS, nilai diumumkan di papan lab. Dengan cekatan saya bandingkan nilai saya dengan nilai mas Adit. Ternyata beda jauh, hikz... frown emoticon . Nilai mas Adit tertinggi di kelas, mengalahkan yg S2 dan S3. Haha..., hampir tidak percaya. Adit pun terkenal di kalangan S2 dan S3. Meski sebenarnya, itu sudah biasa bagi dosen dan orang-orang yang sudah lama di ITB.
Meski kalah jauh dari mas Adit, saya sama sekali tidak iri. Justru saya senang. Senang bisa akrab dengan orang yang luar biasa cerdasnya. PeDeKaTe pun sy lakukan terang-terangan. Di kelas, sebisa mungkin saya duduk dekat dia, entah samping atau belakangnya, asal masih ada tempat duduk. Hehe :)
Cuma satu hal yang bikin saya heran. Di kelas, dia tidak pernah mencatat. Kadang dia hanya bawa selembar kertas dan polpen untuk oret-oretan, jika misal dosen ngasih soal. Dia jarang sekali bawa textbook, paling isi tasnya cuma laptop.
Mengenai laptopnya. Dia pake Linux Mint. Sama dengan laptop saya sekarang wink emoticon. Tiap kali laptopnya nyala, selalu startup dengan terminal. Jadi, dia tidak pakai mouse atau touchpad. Semua dengan kode. Mirip hacker-hacker di film. Dia selalu keliatan keren dengan laptopnya itu..,
Kembali ke kebiasaan mas Adit yang jarang mencatat. Karena heran, maka saya tanyakan ke mas Adit. Bagaimana caranya mas Adit yang jarang mencatat, tapi tetap pintar dan selalu dapat nilai bagus?
Ini jawaban mas Adit (kurang lebihnya):
"Jaman dulu dan jaman sekarang beda mas. Jaman dulu belum ada komputer, tapi jaman sekarang sudah ada. Jadi mau tidak mau kita harus belajar komputer. Jaman dulu, bahasa inggris belum penting mas, tapi jaman sekarang sudah sangat penting. Jadi mau tidak mau kita harus belajar bahasa inggris."
"Dalam ilmu kimia juga seperti itu mas. Kimia jaman dulu tidak sesulit kimia jaman sekarang. Jaman sekarang, ilmu kimia sudah jauh lebih kompleks. Kita harus luangkan banyak waktu, jika ingin belajar dan paham kimia dengan baik."
"Cuma problemnya, waktu 24 jam jaman dulu dan jaman sekarang gak ada bedanya mas, sama aja, 24 x 60 menit."
"Saya tidak suka mencatat, karena saya tidak mau mempelajari satu topik yang sama dalam dua atau tiga waktu yang berbeda. Selama ini, kita mencatat agar bisa mengulanginya lagi kan di rumah. Bagi saya, itu cuma buang waktu mas. Harusnya, saat materi itu kita pelajari di kelas, maka saat itu juga harus kita pahami isinya.
"Harusnya kita maksimalkan konsentrasi untuk memahaminya sehingga bisa meresap dgn baik dan tidak perlu lagi diulangi di rumah."
"Kalo kita mencatat, maka tanpa sadar kita sedang menggoda diri kita sendiri untuk tidak terlalu fokus. Toh dengan catatan, nanti bisa diulangi lagi di rumah. Ini cara belajar yang boros waktu mas"
Itulah jawaban mas Adit. Jawaban yang bikin dada saya sesak. Entah sengaja atau tidak, jawaban itu "nyindir banget" buat saya. Di kelas, saya termasuk yang rajin mencatat. Maka terasa sekali jawaban itu terhujam telak di dada saya.
Sejak itu, saya menganggap mas Adit adalah anak ajaib. Dia diciptakan dengan kecerdasan yang luar biasa. Hanya orang tertentu yang bisa mengikuti cara belajar dia. Bukan orang seperti saya.
Ya Allah, segala puji untukMu, yg telah memperkenalkan mas Adit dalam fase kehidupan saya.
Lulus S1, mas Adit mengambil program fasttrack S2 kimia di ITB selama 1 tahun, sehingga kami lulus bareng S2 tahun 2012. Laki-laki sebelah kiri foto saya adalah foto mas Adit. Foto ini saat kami wisuda bareng.
Setelah itu, mas Adit lanjut S3, lalu ke Jepang untuk menyelesaikan penelitiannya. Pulang dari Jepang beliau menikah dgn wanita yang salah satu mak comblangnya adalah saya..:)
Sangat menginspirasi, Alhamdulillah bisa dapat kesempatan diajarkan beliau
ReplyDelete