Kami pertama kali ketemu awal September 2012. Tepatnya di kuliah pertama dia sebagai mahasiswa baru dan saya sebagai dosen baru. Hanya saja, tidak ada sesuatu yang spesial di pertemuan pertama itu. Mungkin karena saya lebih fokus mengajar.
Momen spesial baru terjadi 3 minggu setelahnya. Saat itu, kami papasan di depan lab kampus. Dia senyum layaknya seorang mahasiswa, demikian halnya dengan saya. Dia juga memberi salam.
Saat itu, jilbabnya biasanya saja, sama seperti mahasiswa yang lain. Hanya saja, cara dia tersenyum dan cara dia memberi salam mengesankan kalo dia berbeda dari yang lain. Senyum dia biasa saja, itupun sambil berusaha menunduk. Salamnya juga biasa, datar.
Sejak itu, saya tertarik dengan sikapnya itu. Saya mulai memperhatikan dia.Momen spesial baru terjadi 3 minggu setelahnya. Saat itu, kami papasan di depan lab kampus. Dia senyum layaknya seorang mahasiswa, demikian halnya dengan saya. Dia juga memberi salam.
Saat itu, jilbabnya biasanya saja, sama seperti mahasiswa yang lain. Hanya saja, cara dia tersenyum dan cara dia memberi salam mengesankan kalo dia berbeda dari yang lain. Senyum dia biasa saja, itupun sambil berusaha menunduk. Salamnya juga biasa, datar.
Masuk semester 3, saya minta dia jadi asisten praktikum di kuliah saya. Dan dia mau. Praktikum itu menjadi momen bagi saya untuk lebih banyak memperhatikan dia. Saya lihat dia banyak berdiskusi dengan praktikan. Mereka akrab.
Di akhir praktikum, saya tanyakan ke praktikan saya, bagaimana kualitas asisten mereka. Ternyata banyak praktikan yang menyukai dia. Mereka bilang dia enak njalasinnya, gampang dipahami, tidak menggurui, asyik diajak ngobrol, dan humble. Pujian itu membuat saya semakin suka, kagum, dan sekaligus kaget. Kaget karena dia masih semester 3, tapi dominan praktikan lebih suka dia.
Masuk semester 4, saya makin serius memperhatikan dia. Jika sebelumnya, saya hanya menganggap dia sebagai mahasiswa yang layak dikagumi, tapi kali ini, saya mulai menganggap dia sebagai wanita yang layak dicintai. Saya mulai menaruh harapan. Hanya saja, sikap dia mulai banyak berubah. Jika sebelumnya masih sering senyum, sekarang tidak lagi. Jangankan senyum, papasan pun jika memungkinkan dia pasti akan menghindar atau mencari jalan lain.
Cara lain bagi saya untuk lebih mengenalnya adalah melalui fesbuk dan teman-temannya. Melaui itulah saya bisa mengenal keluarga dan latar belakang pendidikannya. Melalui teman-temannya juga, saya bisa mengetahui kedalaman ilmunya, kemampuan bahasa arabnya, hafalan qurannya, dan karakternya yang lain. Semua yang saya ketahui semakin membuat saya kagum dan mulai jatuh cinta.
Hingga akhirnya, saat semester 6, dia memutuskan menggunakan cadar. Saya sempat kaget, kagum, dan semakin kagum, hingga rasa kagum itu justru berubah menjadi rasa minder. Saya minder dengan semangat, ilmu, dan keistiqomahan dia. Saya mengukur diri, siapa saya? Kok terlalu pede berharap wanita sebaik dia. Saya pikir, wanita sebaik dia hanya layak untuk seorang ustadz atau tholibul 'ilmi sebaik dia.
Sejak itu, saya mulai mundur. Saya mulai menepis semua perasaan dan harapan saya sebelumnya. Saya suka dia, tapi saya tidak yakin dia juga akan suka saya. Saya takut cinta saya bertepuk sebelah tangan.
Tapi,...
Suatu hari, dia datang ke ruangan saya. Dia butuh tanda tangan saya untuk persyaratan seminar proposal tugas akhirnya. Dia datang sendiri, lalu masuk ke ruangan saya setelah memberi salam. Saya sempat kaget dengan kedatanganya, lalu dia mulai bicara. Bicaranya langsung to the point.., tapi dia grogi, suaranya gemetar. Entah kenapa, yang jelasnya itu membuat saya kege-eran. Kok dia grogi? Jangan-jangan dia juga suka sama saya..?
Selang sebulan kemudian, melalui seorang mediator, akhirnya saya tahu, ternyata benar dia juga suka sama saya. Iya, kami saling suka. Saya benar-benar bahagia.. :)
Sebulan setelah itu, saya menemui orang tuanya. Lalu sebulan lagi setelah itu, tibalah bulan September 2015, bulan pernikahan kami. Kami menikah.. ♥ ♥
0 komentar:
Post a Comment