Mar 19, 2008

Sekolah, bagiku adalah...?

Ibu dan kakakku tidak pernah menjelaskan kenapa aku harus sekolah dan kenapa aku harus pintar. Mungkin mereka pikir untuk apa dijelaskan, toh aku juga tidak akan paham, atau mungkin juga mereka sebenarnya tidak tahu, kenapa aku harus sekolah? Mereka hanya mengikuti kebiasaan orang-orang di kampungku, bahwa anak yang berusia 7 tahun harus segera disekolahkan.

Tiga bulan sebelum masuk SD, aku telah diajari menulis, membaca, dan berhitung oleh kakakku. Bahkan satu bulan sebelumnya aku telah dibelikan sepatu dan seragam merah putih. Semua lengkap termasuk buku tulis, tas, pensil, rautan, penghapus, bahkan termasuk kemampuanku membaca, menulis, dan berhitung telah lengkap sebelum aku sekolah.

Hari itu, hari Senin, aku diantar oleh kakakku ke sekolah, masuk kelas, hingga duduk pada sebuah kursi. Aku lupa urutan kursi itu, bahkan aku lupa siapa teman dudukku. Tidak banyak yang kuingat di hari pertama itu, kecuali aku berdiri di depan kelas dan diminta memperkenalkan diri oleh guru pertamaku, Ibu Nur Alam. Sama seperti murid-murid yang lain, aku melakukannya dengan polos, lugu, dan mungkin agak lucu. Setelah itu, kami pulang dan tidak ada yang spesial...

Hari demi hari berlalu, aku tetap sekolah dan semakin pintar saja. Nilai raportku sangat bagus dan bisa membuat Ibu dan kakakku bangga. Demikian halnya dengan aku, sangat bangga dan ceria dengan banyak pujian yang aku dapatkan karena prestasi itu. Senangnya jadi bintang dan pusat perhatian tidak membuatku tahu kenapa aku harus sekolah, kenapa aku harus pintar??!! Semua kulakukan dan kuraih hanya karena orang-orang disekitarku senang jika aku melakukannya.

Empat tahun berlalu, saat aku duduk di kelas 5 SD, wali kelas kami adalah guru pindahan dari sekolah kecamatan tetangga. Nama beliau Pak Masalinri, namanya lumayan susah, tapi masih aku ingat sampai sekarang. Selain beliau, kami juga kedatangan murid baru dari sekolah kabupaten tetangga. Namanya, Abdul Waris, seorang bocah lelaki yang berwajah lembut.

Kelak, dua orang inilah yang memberiku jawaban, kenapa aku harus sekolah dan kenapa aku harus pintar. Satu jawaban yang mereka berikan sangat cukup buat aku untuk semangat belajar.

Pak Masalinri adalah guru yang cerdas, tegas, dan telaten. Beliau selalu memulai kelas dengan memberi pertanyaan satu per satu kepada murid-muridnya. Pertanyaan-pertanyaan beliau adalah review pelajaran sebelumnya. Kami harus belajar terlebih dahulu sebelum masuk kelas agar bisa menjawab pertanyaan beliau. Murid yang tidak tidak mampu menjawab akan mendapat hukuman.

Semua teman-temanku pernah mendapat hukuman dari beliau karena gagal menjawab pertanyaan, kecuali satu orang, dia adalah Abdul Waris. Dia  adalah murid yang rajin dan cerdas. Dia mampu menjawab hampir semua pertanyaan Pak Masalinri dengan baik dan benar. Tidak hanya itu, tata bahasa dan sikapnya teratur, menarik, dan mengesankan. Kelebihan dan kemampuannya itu mampu menyedot perhatian teman-temanku termasuk Pas Masalinri. Aku yang dulu selalu menjadi idola dan bintang di kelas mulai dinomorduakan oleh mereka. Alhasil, nilai raportku pun kalah oleh dia. Uhh,... sedihnya, hikz.....
Sejak saat itu, aku mulai paham arti saingan. Ya, “bersaing....!!!”, kira-kira itulah jawaban PERTAMA yang aku dapatkan setelah aku lama tidak menemukan dan memang tidak mencarinya. Aku harus belajar karena aku harus bersaing dengan murid baru itu untuk menjadi bintang kelas lagi. Hehe...., meski terasa naif, lugu, tapi cukuplah bagiku saat itu.
Lulus SD, aku kembali menjadi bintang dengan memperoleh NEM sekolah tertinggi. Hehe,... aku meraih lagi kebangaanku!!!

Nilaiku NEM-ku yang tinggi, memberiku kesempatan menjadi murid SMP unggulan dan favorit di kotaku. Sekitar 240 orang yang diterima diseleksi secara ketat agar murid yang diterima adalah murid yang berkualitas. Meski belakangan aku tahu, berkualitas yang dimaksud adalah kualitas secara akademik dan kualitas secara finansial.

Kami yang diterima ditempatkan sesuai dengan tingkat kemampuan akademiknya. Lagi-lagi nilai NEM-ku yang tinggi, memberiku kesempatan duduk di kelas unggulan, kelasnya orang-orang pintar, smart zone!! Oh my God, bangganya diriku saat itu.

Teman-teman sekelasku tidak hanya pintar, tapi juga berduit banyak. Maklumlah, mereka kebanyakan anak-anak pejabat dan pengusaha di kotaku. Wajah mereka tampak bersih terawat dipadu dengan pakaiannya yang halus dan rapi. Sepatunya hitam mengkilat, sama sekali tidak berdebu, karena ke sekolah dengan mobil ber-AC, kecuali beberapa yg mirip aku, agak kumal...

Cara bicara mereka juga berbeda dengan teman-teman SD-ku dulu. Mereka lebih mirip dengan orang-orang yang sering kami lihat di tivi-tivi. Tema obrolannya pun bukan seputar mainan enggrang, yo-yo, gasing, apalagi petak umpet. Tapi, obrolan mereka kebanyakan tentang artis band, musik, liga italia, basket NBA, kartun, atau playstation. Alih-alih akrab dengan mereka, nyambung aja nggak!!

Sejak itu, aku merasa sebagai orang asing ditengah-tengah mereka. Alien si manusia asing, kata salah seorang dari mereka. Akupun berusaha memikirkan cara agar bisa akrab dengan mereka.

Suatu hari, Rahman salah satu diantara mereka bertanya ke aku karena dia kesulitan mengerjakan tugas. Aku pun dengan senang hati membantunya, mudah-mudahan dengan cara itu aku bisa akrab dengannya. Dan,.. benar saja, aku pun bisa akrab dengan dia, menyusul teman-teman yang lain dengan cara yang hampir sama. Aku yang bertanya ke mereka, atau mereka yang bertanya ke aku.

Oh,.. senangnya hatiku bisa ngobrol dengan mereka. Meskipun tema obrolan yang bisa nyambung dengan mereka saat itu hanya seputar aljabar, geometri, besaran pokok, ekosistem makhluk hidup, tense, atau PR yang lainnya, aku tetap senang, minimal aku dianggap ada oleh mereka. Tidak lagi dianggap Alien, si manusia asing!!
Jawaban KEDUA, kenapa aku harus sekolah dan kenapa aku harus pintar telah aku dapatkan. Aku harus sekolah dan pintar agar bisa “bergaul” dengan banyak orang. Meski miskin, gak punya punya uang jajan, tapi kalo punya banyak teman dijamin gak bakal kelaparan. Hahaha..., itu kalo milih temannya pinter.
Dua jawaban yang aku dapatkan menjadi bekal yang sangat berharga hingga aku duduk di bangku SMA. Sekolah dan pintar agar bisa bersaing dan bisa bergaul dengan orang lain.

Cukupkah??,...ternyata belum!!!

Seperti halnya saat SMP, SMA tempatku belajar adalah SMA favorit di kotaku, beberapa siswanya anak pejabat dan pengusaha. Bedanya, saat SMP, anak-anak pejabat dan pengusaha itu masih rajin, pintar, dan penurut, tapi saat SMA tingkah mereka udah mulai agak aneh.

Cara bergaul mereka heboh dan sering berkelompok dengan genk-genk tertentu. Kebanyakan mereka hedonis sehingga rentang dengan pergaulan bebas. Jika tidak hati-hati, bisa bablas!! Merokok, hura-hura, jalan-jalan, cambur baur cowok/cewek, pacaran, hingga (maaf ya) freesex pernah terjadi di zona biru itu.
Cara hidup mereka mengancam aku dan teman-teman yang tidak seperti mereka. Agar tidak ketularan, sebagaian kami membentuk kelompok-kelompok tandingan, kelompok siswa yang sibuk dengan organisasi ekskul dan kegiatan akademik. Kami lebih sering belajar kelompok dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti kajian, bakti sosial, seminar, pertukaran pelajar, dll. Dengan kegiatan itu dan ilmu yang didapatkan, kami dapat “menjaga diri” kami dari pola hidup mereka dengan identitas diri yang dapat dipertanggungjawabkan. Inilah jawaban KETIGA yang aku dapatkan, kenapa aku harus sekolah dan harus pintar.
Hanya saja, saat SMA itu, aku dan teman-teman hanya mampu sebatas melindungi diri pribadi masing-masing. Apa yang aku pahami dan ketahui belum bisa memberi manfaat bagi orang lain. Terasa kurang demikian, akupun melanjutkan sekolah ke salah satu perguruan tinggi Yogyakarta.

Setahun, dua tahun, pola belajarku masih sama seperti SMA dulu: ingin pintar sendiri!!, bodoh dengan orang lain, mau sukses atau mau gagal itu urusan pribadi masing-masing. Bahkan, sikap egoisku semakin parah!!, aku tidak bergabung dengan kegiatan ekskul apapun di kampus. Kalopun ada, itu hanya titip nama di struktur, itupun yang masukin teman-teman, bukan aku yang minta, pokoknya aku cuek abizz dgn kampus!! Maklumlah, aku kuliah di UIN, bekas IAIN, kampus yang terkenal dengan pola pikir liberal dan pluralismenya.

Alhasil, jadilah aku mahasiswa dengan prestasi akademik yang gila-gilaan, jauh meninggalkan teman-teman yang lain. Kondisi ini berlangsung selama 4 semester, hingga aku dicap sebagai mahasiswa yg study oriented, cap yang sebenarnya positif, tapi terkesan negatif karena dianggap egois.

Tidak.., aku tidak terima cap itu!! Akupun protes kepada teman-temanku, tapi mereka memintaku untuk membuktikannya. Mereka meminta aku membuktikan bahwa mahasiswa yang studi oriented tidak selamanya egois!!!

Sabtu 26 Mei 2006, warga Jogja diguncang gempa dasyat yang menewaskan hampir 6000 orang. Banyak orang yang kelihangan tempat tinggal. Bahkan, kantor-kantor, sekolah, dan kampus semuanya nyaris lumpuh. Kondisi yang sangat memperhatinkan itu mengetuk hati banyak orang untuk berbuat termasuk para mahasiswa di Jogja. Kami pun diterjunkan oleh pihak kampus sebagai relawan ke beberapa titik pengungsian.

Posko-posko relawan kami jadikan tempat bagi para korban mendapatkan banyak bantuan, baik yang fisik maupun yang non fisik. Kebetulan aku terjun bersama dengan teman-teman kajian kampus, sehingga kegiatan kami lebih banyak yang bersifat non fisik, yakni menghilangkan trauma dengan kegiatan-kegiatan yang membantu mereka menerima bencana tersebut. Beberapa kegiatan diformat dalam bentuk TPA, sekolah darurat, pengajian, pelatihan, hiburan, perlombaan, dll.

Saat itulah, aku merasa bermanfaat dengan ilmu yang aku miliki. Aku bisa membantu anak-anak sekolah memahami pelajaran mereka yang telah lama diliburkan. Aku bisa mengajari mereka menggunakan komputer, mengetik, termasuk main game. Bahkan, yang paling menyenangkan adalah aku bisa membantu masyarakat menggunakan bahan kimia yang aman untuk mengawetkan bambu, bahan rumah semipermanen mereka (kebetulan karena aku mahasiswa kimia).

Meski hanya sebulan, semua aktivitas itu menyadarkanku tentang posisi makhluk diantara makhluk yang lainnya. Aku disadarkan bahwa aku adalah makhluk diantara makhluk yang lain. Ada manusia yang lain, ada tumbuhan, hewan, dan lingkungan. Mereka semua adalah objek dari manfaat ilmu yang kita miliki...

Selepas kegiatan relawan itu, akupun menjadi sosok yang berbeda di kampus. Aku mulai membentuk kelompok belajar dengan temna-teman. Kami belajar bersama, meski sebenarnya yang belajar adalah mereka ke aku, hehe.., Aku senang bisa membantu teman-teman memahami materi kuliahnya. Terkadang pula, aku mengunjungi kost teman-teman sehari sebelum ujian membantu mereka belajar. Bahkan, beberapa teman memintaku datang ke kampus satu jam sebelum ujian dimulai, agar mereka bisa konfirmasi lagi, takutnya ada yang salah konsep.
Sangat menyenangkan memiliki sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, meski itu hanyalah ilmu, bukan barang, uang, atau yang lainnya. Inilah jawaban KEEMPAT yang aku dapatkan, kenapa aku harus sekolah dan memiliki ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang dimiliki seharusnya digunakan untuk “membantu sekitar kita”.
Manfaat keempat ini memotivasiku menjadi dosen di almamaterku. Terlebih, kata beberapa temanku, terkadang mereka lebih mudah paham penjelasan yang aku berikan daripada penjelasan ibu/bapak dosenku, hehe... mungkin karena mereka bisa lebih nyante kalo ma aku, lha teman sendiri kok, jadi gak kaku!! Kegiatan belajar dan membantu mahasiswa ini aku teruskan bersama adik-adik kelasku hingga aku mendapatkan beasiswa sekolah S2.

       Setelah sempat bekerja selama 2 tahun, setamat kuliah, kini aku melanjutkan sekolah S2ku di Bandung. Aku berharap akan menemukan jawaban KELIMA kenapa aku sekolah di kota ini. Adapun, jawaban KEENAM akan aku temukan setamat sekolah ini, yakni pada jenjang pendidikanku yang terakhir, insyaAllah. Aku berdoa mudah-mudahan pencariannku akan berhasil, aminnn...

Share:

0 komentar:

Post a Comment