Ibu dan kakakku tidak
pernah menjelaskan kenapa aku harus sekolah dan kenapa aku harus
pintar. Mungkin mereka pikir untuk apa dijelaskan, toh aku juga tidak
akan paham, atau mungkin juga mereka sebenarnya tidak tahu, kenapa aku
harus sekolah? Mereka hanya mengikuti kebiasaan orang-orang di
kampungku, bahwa anak yang berusia 7 tahun harus segera disekolahkan.
Tiga
bulan sebelum masuk SD, aku telah diajari menulis, membaca, dan
berhitung oleh kakakku. Bahkan satu bulan sebelumnya aku telah
dibelikan sepatu dan seragam merah putih. Semua lengkap termasuk buku
tulis, tas, pensil, rautan, penghapus, bahkan termasuk kemampuanku
membaca, menulis, dan berhitung telah lengkap sebelum aku sekolah.
Hari
itu, hari Senin, aku diantar oleh kakakku ke sekolah, masuk kelas,
hingga duduk pada sebuah kursi. Aku lupa urutan kursi itu, bahkan aku
lupa siapa teman dudukku. Tidak banyak yang kuingat di hari pertama
itu, kecuali aku berdiri di depan kelas dan diminta memperkenalkan diri
oleh guru pertamaku, Ibu Nur Alam. Sama seperti murid-murid yang lain,
aku melakukannya dengan polos, lugu, dan mungkin agak lucu. Setelah
itu, kami pulang dan tidak ada yang spesial...
Hari demi
hari berlalu, aku tetap sekolah dan semakin pintar saja. Nilai raportku
sangat bagus dan bisa membuat Ibu dan kakakku bangga. Demikian halnya
dengan aku, sangat bangga dan ceria dengan banyak pujian yang aku
dapatkan karena prestasi itu. Senangnya jadi bintang dan pusat
perhatian tidak membuatku tahu kenapa aku harus sekolah, kenapa aku
harus pintar??!! Semua kulakukan dan kuraih hanya karena orang-orang
disekitarku senang jika aku melakukannya.
Empat
tahun berlalu, saat aku duduk di kelas 5 SD, wali kelas kami adalah
guru pindahan dari sekolah kecamatan tetangga. Nama beliau Pak
Masalinri, namanya lumayan susah, tapi masih aku ingat sampai sekarang.
Selain beliau, kami juga kedatangan murid baru dari sekolah kabupaten
tetangga. Namanya, Abdul Waris, seorang bocah lelaki yang berwajah
lembut.
Kelak, dua orang inilah yang memberiku jawaban,
kenapa aku harus sekolah dan kenapa aku harus pintar. Satu jawaban yang
mereka berikan sangat cukup buat aku untuk semangat belajar.
Pak
Masalinri adalah guru yang cerdas, tegas, dan telaten. Beliau selalu
memulai kelas dengan memberi pertanyaan satu per satu kepada
murid-muridnya. Pertanyaan-pertanyaan beliau adalah review pelajaran
sebelumnya. Kami harus belajar terlebih dahulu sebelum masuk kelas agar
bisa menjawab pertanyaan beliau. Murid yang tidak tidak mampu menjawab
akan mendapat hukuman.
Semua teman-temanku pernah
mendapat hukuman dari beliau karena gagal menjawab pertanyaan, kecuali
satu orang, dia adalah Abdul Waris. Dia adalah murid yang rajin dan
cerdas. Dia mampu menjawab hampir semua pertanyaan Pak Masalinri dengan
baik dan benar. Tidak hanya itu, tata bahasa dan sikapnya teratur,
menarik, dan mengesankan. Kelebihan dan kemampuannya itu mampu menyedot
perhatian teman-temanku termasuk Pas Masalinri. Aku yang dulu selalu
menjadi idola dan bintang di kelas mulai dinomorduakan oleh mereka.
Alhasil, nilai raportku pun kalah oleh dia. Uhh,... sedihnya, hikz.....
Sejak saat itu, aku mulai paham arti saingan. Ya, “bersaing....!!!”, kira-kira itulah jawaban PERTAMA yang aku dapatkan setelah aku lama tidak menemukan dan memang tidak mencarinya. Aku harus belajar karena aku harus bersaing dengan murid baru itu untuk menjadi bintang kelas lagi. Hehe...., meski terasa naif, lugu, tapi cukuplah bagiku saat itu.
Lulus SD, aku kembali menjadi bintang dengan memperoleh NEM sekolah tertinggi. Hehe,... aku meraih lagi kebangaanku!!!
Nilaiku
NEM-ku yang tinggi, memberiku kesempatan menjadi murid SMP unggulan
dan favorit di kotaku. Sekitar 240 orang yang diterima diseleksi secara
ketat agar murid yang diterima adalah murid yang berkualitas. Meski
belakangan aku tahu, berkualitas yang dimaksud adalah kualitas secara
akademik dan kualitas secara finansial.
Kami yang diterima
ditempatkan sesuai dengan tingkat kemampuan akademiknya. Lagi-lagi
nilai NEM-ku yang tinggi, memberiku kesempatan duduk di kelas unggulan,
kelasnya orang-orang pintar, smart zone!! Oh my God, bangganya diriku
saat itu.
Teman-teman sekelasku tidak hanya pintar, tapi
juga berduit banyak. Maklumlah, mereka kebanyakan anak-anak pejabat dan
pengusaha di kotaku. Wajah mereka tampak bersih terawat dipadu dengan
pakaiannya yang halus dan rapi. Sepatunya hitam mengkilat, sama sekali
tidak berdebu, karena ke sekolah dengan mobil ber-AC, kecuali beberapa
yg mirip aku, agak kumal...
Cara bicara mereka juga
berbeda dengan teman-teman SD-ku dulu. Mereka lebih mirip dengan
orang-orang yang sering kami lihat di tivi-tivi. Tema obrolannya pun
bukan seputar mainan enggrang, yo-yo, gasing, apalagi petak umpet.
Tapi, obrolan mereka kebanyakan tentang artis band, musik, liga italia,
basket NBA, kartun, atau playstation. Alih-alih akrab dengan mereka,
nyambung aja nggak!!
Sejak itu, aku merasa sebagai orang
asing ditengah-tengah mereka. Alien si manusia asing, kata salah
seorang dari mereka. Akupun berusaha memikirkan cara agar bisa akrab
dengan mereka.
Suatu hari, Rahman salah satu diantara
mereka bertanya ke aku karena dia kesulitan mengerjakan tugas. Aku pun
dengan senang hati membantunya, mudah-mudahan dengan cara itu aku bisa
akrab dengannya. Dan,.. benar saja, aku pun bisa akrab dengan dia,
menyusul teman-teman yang lain dengan cara yang hampir sama. Aku yang
bertanya ke mereka, atau mereka yang bertanya ke aku.
Oh,..
senangnya hatiku bisa ngobrol dengan mereka. Meskipun tema obrolan
yang bisa nyambung dengan mereka saat itu hanya seputar aljabar,
geometri, besaran pokok, ekosistem makhluk hidup, tense, atau PR yang
lainnya, aku tetap senang, minimal aku dianggap ada oleh mereka. Tidak
lagi dianggap Alien, si manusia asing!!
Jawaban KEDUA, kenapa aku harus sekolah dan kenapa aku harus pintar telah aku dapatkan. Aku harus sekolah dan pintar agar bisa “bergaul” dengan banyak orang. Meski miskin, gak punya punya uang jajan, tapi kalo punya banyak teman dijamin gak bakal kelaparan. Hahaha..., itu kalo milih temannya pinter.
Dua jawaban yang aku
dapatkan menjadi bekal yang sangat berharga hingga aku duduk di bangku
SMA. Sekolah dan pintar agar bisa bersaing dan bisa bergaul dengan
orang lain.
Cukupkah??,...ternyata belum!!!
Seperti
halnya saat SMP, SMA tempatku belajar adalah SMA favorit di kotaku,
beberapa siswanya anak pejabat dan pengusaha. Bedanya, saat SMP,
anak-anak pejabat dan pengusaha itu masih rajin, pintar, dan penurut,
tapi saat SMA tingkah mereka udah mulai agak aneh.
Cara
bergaul mereka heboh dan sering berkelompok dengan genk-genk tertentu.
Kebanyakan mereka hedonis sehingga rentang dengan pergaulan bebas. Jika
tidak hati-hati, bisa bablas!! Merokok, hura-hura, jalan-jalan, cambur
baur cowok/cewek, pacaran, hingga (maaf ya) freesex pernah terjadi di zona biru itu.
Cara hidup mereka mengancam aku dan teman-teman yang tidak seperti mereka. Agar tidak ketularan, sebagaian kami membentuk kelompok-kelompok tandingan, kelompok siswa yang sibuk dengan organisasi ekskul dan kegiatan akademik. Kami lebih sering belajar kelompok dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, seperti kajian, bakti sosial, seminar, pertukaran pelajar, dll. Dengan kegiatan itu dan ilmu yang didapatkan, kami dapat “menjaga diri” kami dari pola hidup mereka dengan identitas diri yang dapat dipertanggungjawabkan. Inilah jawaban KETIGA yang aku dapatkan, kenapa aku harus sekolah dan harus pintar.
Hanya
saja, saat SMA itu, aku dan teman-teman hanya mampu sebatas melindungi
diri pribadi masing-masing. Apa yang aku pahami dan ketahui belum bisa
memberi manfaat bagi orang lain. Terasa kurang demikian, akupun
melanjutkan sekolah ke salah satu perguruan tinggi Yogyakarta.
Setahun,
dua tahun, pola belajarku masih sama seperti SMA dulu: ingin pintar
sendiri!!, bodoh dengan orang lain, mau sukses atau mau gagal itu urusan
pribadi masing-masing. Bahkan, sikap egoisku semakin parah!!, aku
tidak bergabung dengan kegiatan ekskul apapun di kampus. Kalopun ada,
itu hanya titip nama di struktur, itupun yang masukin teman-teman,
bukan aku yang minta, pokoknya aku cuek abizz dgn kampus!! Maklumlah,
aku kuliah di UIN, bekas IAIN, kampus yang terkenal dengan pola pikir
liberal dan pluralismenya.
Alhasil, jadilah aku mahasiswa
dengan prestasi akademik yang gila-gilaan, jauh meninggalkan
teman-teman yang lain. Kondisi ini berlangsung selama 4 semester,
hingga aku dicap sebagai mahasiswa yg study oriented, cap yang sebenarnya positif, tapi terkesan negatif karena dianggap egois.
Tidak..,
aku tidak terima cap itu!! Akupun protes kepada teman-temanku, tapi
mereka memintaku untuk membuktikannya. Mereka meminta aku membuktikan
bahwa mahasiswa yang studi oriented tidak selamanya egois!!!
Sabtu
26 Mei 2006, warga Jogja diguncang gempa dasyat yang menewaskan hampir
6000 orang. Banyak orang yang kelihangan tempat tinggal. Bahkan,
kantor-kantor, sekolah, dan kampus semuanya nyaris lumpuh. Kondisi yang
sangat memperhatinkan itu mengetuk hati banyak orang untuk berbuat
termasuk para mahasiswa di Jogja. Kami pun diterjunkan oleh pihak kampus
sebagai relawan ke beberapa titik pengungsian.
Posko-posko
relawan kami jadikan tempat bagi para korban mendapatkan banyak
bantuan, baik yang fisik maupun yang non fisik. Kebetulan aku terjun
bersama dengan teman-teman kajian kampus, sehingga kegiatan kami lebih
banyak yang bersifat non fisik, yakni menghilangkan trauma dengan
kegiatan-kegiatan yang membantu mereka menerima bencana tersebut.
Beberapa kegiatan diformat dalam bentuk TPA, sekolah darurat, pengajian,
pelatihan, hiburan, perlombaan, dll.
Saat itulah, aku
merasa bermanfaat dengan ilmu yang aku miliki. Aku bisa membantu
anak-anak sekolah memahami pelajaran mereka yang telah lama diliburkan.
Aku bisa mengajari mereka menggunakan komputer, mengetik, termasuk
main game. Bahkan, yang paling menyenangkan adalah aku bisa membantu
masyarakat menggunakan bahan kimia yang aman untuk mengawetkan bambu,
bahan rumah semipermanen mereka (kebetulan karena aku mahasiswa kimia).
Meski
hanya sebulan, semua aktivitas itu menyadarkanku tentang posisi
makhluk diantara makhluk yang lainnya. Aku disadarkan bahwa aku adalah
makhluk diantara makhluk yang lain. Ada manusia yang lain, ada
tumbuhan, hewan, dan lingkungan. Mereka semua adalah objek dari manfaat
ilmu yang kita miliki...
Selepas
kegiatan relawan itu, akupun menjadi sosok yang berbeda di kampus. Aku
mulai membentuk kelompok belajar dengan temna-teman. Kami belajar
bersama, meski sebenarnya yang belajar adalah mereka ke aku, hehe.., Aku
senang bisa membantu teman-teman memahami materi kuliahnya. Terkadang
pula, aku mengunjungi kost teman-teman sehari sebelum ujian membantu
mereka belajar. Bahkan, beberapa teman memintaku datang ke kampus satu
jam sebelum ujian dimulai, agar mereka bisa konfirmasi lagi, takutnya
ada yang salah konsep.
Sangat menyenangkan memiliki sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, meski itu hanyalah ilmu, bukan barang, uang, atau yang lainnya. Inilah jawaban KEEMPAT yang aku dapatkan, kenapa aku harus sekolah dan memiliki ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang dimiliki seharusnya digunakan untuk “membantu sekitar kita”.
Manfaat keempat ini
memotivasiku menjadi dosen di almamaterku. Terlebih, kata beberapa
temanku, terkadang mereka lebih mudah paham penjelasan yang aku berikan
daripada penjelasan ibu/bapak dosenku, hehe... mungkin karena mereka
bisa lebih nyante kalo ma aku, lha teman sendiri kok, jadi gak kaku!!
Kegiatan belajar dan membantu mahasiswa ini aku teruskan bersama
adik-adik kelasku hingga aku mendapatkan beasiswa sekolah S2.
Setelah
sempat bekerja selama 2 tahun, setamat kuliah, kini aku melanjutkan
sekolah S2ku di Bandung. Aku berharap akan menemukan jawaban KELIMA
kenapa aku sekolah di kota ini. Adapun, jawaban KEENAM akan aku temukan
setamat sekolah ini, yakni pada jenjang pendidikanku yang terakhir,
insyaAllah. Aku berdoa mudah-mudahan pencariannku akan berhasil,
aminnn...
0 komentar:
Post a Comment