Mar 4, 2012

Wajo,aku ingin mengabdi

Arung Matoa Wajo, La Tadampare Puang Ri Maggalatung (1491-1521) mengungkapkan kekagumannya pada kekayaan tanah Wajo dengan syair yang indah: mangkalungu ri bulu’E, massulappE ri pottanangngE na mattoddang ritasi’E, ri tapparengngE. Syair indah ini menggambarkan bahwa Wajo adalah tanah yang subur dan menjanjikan. Ibarat seorang yang tidur, maka ia berbantalkan bukit sambil memeluk lahan yang luas dan diayun oleh ombak laut dan danau.

Syair ini tentu bukan ilusi khayalan belaka, tapi kenyataan yang tampak dan meluah. Hamparan lahan persawahan mencapai puluhan hektar yang dikelilingi oleh tanah berbukit berjejeran mulai dari Tempe ke utara: Maniangpajo, Majauleng, Pitumpanua, dan Pammana. Lahan tersebut mendukung melimpahnya hasil pertanian, perkebunan, dan ternak. Perairan yang meliputi sungai, danau, dan laut merupakan aset yang sangat berharga untuk pengairan, perikanan, dan pariwisata. Belum lagi isi perut bumi yang kaya dengan gas alam dan bahan mineral lainnya adalah bukti bahwa Wajo merupakan tanah yang dikaruniahi keberkahan.

Selain itu, syair di atas tentu bukan pula hanya senandung belaka, tanpa makna dan tujuan. Syair di atas adalah senandung penggugah bagi pemuda-pemudi Wajo agar senantiasa berpikir kreatif dan konstruktif. Kreatif untuk memanfaatkan kekayan alamnya yang melimpah. Konstruktif untuk membangun tanah Wajo yang lebih memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya.

Kemampuan berpikir kreatif dan konstruktif tersebut tentu hanya dapat dilakukan jika orang-orang Wajo menjadi To acca. Macca untuk menyadari, macca untuk memahami, macca untuk mengolah, macca untuk memanfaatkan, dan macca untuk melestarikannya.  Konsep-konsep inilah yang telah dilakukan oleh To accana Wajo sejak zaman dahulu, dimulai oleh Latenri Bali, Lataddampare Puang Rimaggalatung, Amanagapppa yang banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di Saoraja hingga oleh Prof. DR. Amiruddin dan Prof. DR. Zainal Abidin yang sekarang ini belajar melalui pendidikan formal.

Akankah upaya para To accana Wajo itu terhenti tanpa kontiunitas, yang belum maksimal hingga saat ini? Tentu kita sepakat untuk berkata tidak! Upaya mereka harus diteruskan oleh para pemuda-pemudi Wajo. Kita harus terus belajar sesuai dengan bakat dan minat masing-masing agar bisa menjadi To accana Wajo yang akan meneruskan upaya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Semangat ini perlu pula dilandasi oleh budaya siri’ karena kita merupakan komponen interaksi sosial baik sebangsa, serumpung, hingga interaksi global.
Teman-teman yang lahir dan tumbuh di tanah Wajo, senantiasa kita harus terus belajar agar bisa menjadi To acca. To acca yang akan senantiasa memikirkan Wajo sebagai tanah leluhur, Wajo sebagai tanah bertumbuh, dan Wajo sebagai tanah mengabdi. To acca yang siap mengharumkan Wajo pada tataran interaksi global.
Share:

0 komentar:

Post a Comment