Jul 13, 2015

Bagaimana Belajar #2

Kali ini, saya ingin ceritakan salah seorang teman saya. Namanya Nuryanto.

Saya mulai mengenalnya, tahun 2004. Saat itu, kami pertama kali ketemu di kelas sebagai mahasiswa baru di Jurusan Kimia UIN Sunan Kalijaga. Beliau orang Sunda, asli Majalengka, Jawa Barat.

Pertama kali ketemu, kami belum akrab. Mungkin karena sama-sama bertipe serius, jadi kami jarang ngobrol. Karena itu, saya tidak mengenal banyak beliau.

Tapi, saat masuk semester 2, kami mulai akrab. Sebabnya, karena mas Nuryanto sangat menonjol di kelas, apalagi saat kuliah agama. Wawasannya luas, cara bicaranya rapi, dan pilihan katanya keren. Banyak istilah yang baru pertama kali saya dengar saat mas Nuryanto menggunakannya di kelas.
Karena kelebihannya itu, saya berusaha dekat dengan mas Nuryanto. Saya mulai pedekate.

Dalam beberapa kesempatan, saya manfaatkan diskusi dengan beliau, entah diskusi agama, politik, atau yang lainnya. Hingga akhirnya, kami saling akrab dan sering ngobrol banyak hal. Termasuk hal pribadi.

Karena sering diskusi dan ngobrol seperti itu, saya mulai mengenal banyak mas Nuryanto. Dan semua itu membuat saya semakin mengaguminya.

Saya akan ceritakan sedikit tentang beliau melalui tulisan ini. Mudah-mudahan menjadi inspirasi bagi teman-teman yang membacanya .

Mas Nuryanto lulus SMA dua tahun lebih dulu dari kami yang seangkatan. Hanya saja beliau tidak langsung kuliah karena kekurangan biaya. Beliau anak ketiga dari 5 bersaudara dan masih punya 2 orang adik. Selama dua tahun itu, beliau bekerja dan menabung penghasilannya. Tabungan itulah yang akhirnya beliau gunakan untuk biaya kuliah.

Sambil bekerja, beliau sempatkan diri belajar ilmu agama di pondok. Yang karena itu, beliau punya wawasan agama yang luas. Dan itu terlihat selama kami kuliah.

Setelah tabungannya dirasa cukup, beliau berangkat ke Jogja untuk kuliah.

Alasan beliau kuliah sangat sederhana. Tidak seperti kebanyakan kita yang kuliah agar kelak lebih mudah dapat pekerjaan. Beliau tidak seperti itu.

Beliau kuliah karena ingin memberi contoh kepada keluarganya bahwa anak dari keluarga tidak mampu juga bisa kuliah. Beliau ingin menjadi inspirasi bagi adik-adik dan keluarganya yang saat itu masih pasrah dengan keadaan.

Karena itu, beliau tidak peduli meski kuliah di jurusan kimia. Pun jika kuliah di jurusan politik, ekonomi, atau yang lainnya, tidak jadi masalah. Asal bisa kuliah S1, itu sudah cukup bagi beliau untuk menginspirasi keluarganya.

Makanya, ketika ditanya kelak kalo sudah jadi sarjana kimia, mau kerja apa? Beliau tidak jawab, karena beliau memang tidak pernah memikirkannya. Targetnya hanya lulus S1. Itu sudah cukup. Apa yang terjadi setelah itu, entahlah.

Alasan sederhana itulah yang memaksa beliau serius dan tekun kuliah.

Untuk biaya kuliah dan biaya hidup beliau manfaatkan waktu malam untuk bekerja. Saat itu beliau nyambi kerja di warung makan Padang dekat kampus (jalan Timoho, pas belokan, dekat asrama Kalimantan). Siang hari beliau kuliah dan mengerjakan tugas, termasuk menyelesaikan laporan praktikum. Malam harinya, beliau kerja hingga hampir larut malam. Baru setelah itu beliau istirahat.

Yang hebat, semua itu dimulai sejak beliau masih semester satu hingga semester empat.

Tentu saja, rutinitas seperti itu menyulitkan beliau. Apalagi saat masuk semester tiga. Saat itu, kampus dipindah ke Maguwo. Jarak tempat kerja ke kampus jadi lebih jauh. Selain butuh kendaraan, beliau juga harus mengorbankan waktu di jalan. Untung saat itu, beliau sanggup membeli sepeda.

Masuk semester lima, beliau mulai mencari alternatif pekerjaan yang lebih longgar. Saat itu, beliau mulai mengajar di beberapa tempat. Dengan mengajar, beliau punya penghasilan yang lebih baik. Hingga akhir semester tujuh, beliau punya tabungan yang cukup untuk memulai bisnis Kedai Makan di belakang Hotel Saphir.

Beliau jalani bisnis itu hampir setahun, hingga beliau dapat musibah. Laptop pinjaman dari teman hilang saat beliau shalat di masjid. Bisnis yang mulai jalan, akhirnya berhenti untuk ganti rugi laptop yang hilang itu.

Tapi beliau tidak putus asa. Dengan semangat, beliau kembali ke rutinitas sebelumnya, mengajar. Rutinitas itu memberi beliau waktu yang lebih longgar hingga bisa menyelesaikan skripsi dan akhirnya lulus sarjana dari Kimia UIN. Alhamdulillah.., mimpi beliau tercapai.

Senyum dan tangis haru orang tua tak lagi terbendung saat beliau wisuda. Hari itu menjadi hari yang sangat indah. Bukan karena beliau sukses menjadi S1, bukan karena itu. Tapi, hari itu menjadi sangat indah karena beliau bisa melihat senyum bangga di bibir lembut orang tuanya dan tatapan keyakinan di mata adik-adiknya.

Setelah wisuda, beliau meninggalkan Jogja dan mulai bekerja di sebuah pondok pesantren di Tangerang. Di sana beliau mengajar. Beliau jalani profesi itu dengan tenang tanpa mimpi yang muluk-muluk lagi. Toh mimpi besar, yakni menjadi sarjana sudah tercapai. Beliau memilih fokus dengan pekerjaan beliau sebagai guru di pondok itu.

Tapi, Allah menginginkan yang lain. Allah ingin memberi nikmat yang lebih untuk beliau.

Setelah hampir setahun mengajar di pondok itu, beliau dapat kabar bahwa Kementerian Agama membuka program beasiswa S2. Dan pondok tempat beliau mengajar punya hak untuk mengajukan peserta beasiswa tersebut. Maka disebut dan diutuslah beliau untuk mengikutinya. Dan benarlah, Allah benar-benar pemberi nikmat yang tanpa batas untuk hambahNya. Beliau lolos dan berhak mendapatkan beasiswa S2 di Kimia UGM.

Tahun 2011, beliau kembali ke Jogja untuk menyelesaikan kuliah S2nya itu dan tak lama setelah itu beliau lulus. Saat ini, beliau sudah lulus dan sudah bergelar M.Sc. Satu tingkat di atas S.Si.

Sebenarnya, saat pertama kali merantau ke Jogja, target beliau hanya ingin menjadi S.Si. Tidak lebih dari itu. Lebih dari itu rasanya terlalu muluk bagi beliau.

Tapi bagi Allah tidak. Allah ingin berikan yang lebih. Setelah melihat mas Nuryanto berpeluh lelah untuk menyenangkan orang tua dan adik-adiknya, maka giliran Allah yang memberi sedikit nikmat untuknya. Allah telah berjanji, siapapun hambahNya yang berniat baik untuk usahanya lalu bersyukur apapun hasilnya, maka Allah akan tambah nikmatNya.

Mas Nuryanto, meski tidak mengajari kita secara langsung, tapi kisahnya bisa menjadi pelajaran bagi kita. Bahwa apapun yang kita lakukan harus dilandasi dengan niat yang benar. Termasuk sebagai mahasiswa, kita tidak boleh asal kuliah, tapi harus dengan niat, mimpi, dan visi yang benar. Lalu niat itu kita ikhtiarkan dengan usaha yang juga benar, maka InsyaAllah akan diberikan balasan yang sesuai.

Share:

0 komentar:

Post a Comment